TREN mobile juga melanda dunia kesehatan. Teknologi baru untuk mendeteksi penyakit Parkinson menggunakan ponsel tengah dikembangkan melalui The Parkinson's Voice Initiative, sebuah proyek untuk membantu para penderita Parkinson.
Proyek tersebut dirintis oleh seorang ilmuwan Matematika dari University of Oxford, Inggris, bernama Max Little. Dia mengembangkan sebuah algoritma untuk mendeteksi kelainan suara yang dapat membantu mendeteksi Parkinson.
Parkinson adalah penyakit syaraf degeneratif yang umumnya menyerang orang-orang berusia di atas 50 tahun. Penyakit ini diberi nama sesuai dengan nama penemunya pada tahun 1817, yakni Dr. James Parkinson. Para penderita Parkinson kesulitan untuk bergerak karena mengalami kekakuan otot. Beberapa dari mereka bahkan juga mengalami kepikunan.
Gejala penyakit ini terkadang sulit dikenali karena berkembang secara sama dan perlahan. Kebanyakan penderita, misalnya, mulai merasakan gemetar pada beberapa bagian tubuhnya ketika mereka sedang kelelahan.
Max Little dan timnya telah menguji aplikasi buatan mereka, sekaligus untuk mendeteksi suara orang-orang yang menderita Parkinson. Tingkat akurasi yang diperoleh, menurut Little, cukup tinggi, yakni sebesar 86 persen. Saat ini, mereka tengah menganalisa 10.000 sampel suara yang berhasil dikumpulkan melalui jaringan telepon.
Di tempat lain, beragam aplikasi mobile juga dikembangkan untuk mendeteksi penyakit. The Wall Street Journal melaporkan, para peneliti dari University of Pittsburgh Medical Center tengah menguji 4 aplikasi untuk menganalisis ratusan gambar tahi lalat dan bercak hitam, yang sebelumnya sudah diperiksa oleh ahli penyakit kulit.
Aplikasi terbaik mampu mendeteksi penyakit kulit, termasuk kanker kulit, dengan tingkat akurasi hingga 98 persen. Sementara aplikasi yang paling payah hanya memiliki tingkat akurasi 6,8 persen. Sayangnya, riset yang dilakukan oleh para peneliti ini tidak menyebutkan nama-nama aplikasi yang mereka uji.
Sebelumnya, ada pula aplikasi mobile lainnya yang dibuat untuk mendeteksi penyakit pada paru-paru. Aplikasi bernama SpiroSmart dikembangkan oleh para peneliti di University of Washington. SpiroSmart bekerja dengan menganalisis suara napas penggunanya.
Selain mengembangkan aplikasi khusus, para peneliti dan ilmuwan juga memanfaatkan aplikasi yang telah ada untuk mendeteksi penyakit. Salah satunya adalah Twitter. Media sosial ini dimanfaatkan oleh para peneliti dan ilmuwan komputer dari Johns Hopkins University untuk mendeteksi kasus influenza di Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan kicauan-kicauan tetang flu dari para pengguna Twitter untuk memetakan lokasi yang terjangkit epidemi flu.
Di Indonesia, aplikasi mobile untuk mendeteksi penyakit sebenarnya juga pernah dikembangkan. Contohnya, MOSES, singkatan dari "Malarian Obervation System and Endemic Surveliance". Aplikasi itu diciptakan oleh tim mahasiswa Institut Teknologi Bandung untuk mendiagnosis penyakit Malaria. Aplikasi tersebut terpilih menjadi juara pertama pada kategori Mobile Device Award, dalam kompetisi Imagine Cup 2009 yang digelar oleh Microsoft Corp.
Pada dasarnya, tren masa depan mengarah ke dunia mobile. Beragam aplikasi kesehatan yang kini dikembangkan bertujuan untuk membantu manusia mendeteksi penyakit dan peduli terhadap lingkungannya.
Sebelum dapat digunakan oleh orang banyak, tentunya perlu ada riset yang serius dan komprehensif terhadap aplikasi tersebut dan penyakit yang berhubungan. Tetapi perlu diingat, sehebat apapun sebuah aplikasi dalam mendeteksi penyakit, aplikasi itu tidak dikembangkan untuk menggantikan peran dokter. (*)
Sumber: kompascom
Proyek tersebut dirintis oleh seorang ilmuwan Matematika dari University of Oxford, Inggris, bernama Max Little. Dia mengembangkan sebuah algoritma untuk mendeteksi kelainan suara yang dapat membantu mendeteksi Parkinson.
Parkinson adalah penyakit syaraf degeneratif yang umumnya menyerang orang-orang berusia di atas 50 tahun. Penyakit ini diberi nama sesuai dengan nama penemunya pada tahun 1817, yakni Dr. James Parkinson. Para penderita Parkinson kesulitan untuk bergerak karena mengalami kekakuan otot. Beberapa dari mereka bahkan juga mengalami kepikunan.
Gejala penyakit ini terkadang sulit dikenali karena berkembang secara sama dan perlahan. Kebanyakan penderita, misalnya, mulai merasakan gemetar pada beberapa bagian tubuhnya ketika mereka sedang kelelahan.
Max Little dan timnya telah menguji aplikasi buatan mereka, sekaligus untuk mendeteksi suara orang-orang yang menderita Parkinson. Tingkat akurasi yang diperoleh, menurut Little, cukup tinggi, yakni sebesar 86 persen. Saat ini, mereka tengah menganalisa 10.000 sampel suara yang berhasil dikumpulkan melalui jaringan telepon.
Di tempat lain, beragam aplikasi mobile juga dikembangkan untuk mendeteksi penyakit. The Wall Street Journal melaporkan, para peneliti dari University of Pittsburgh Medical Center tengah menguji 4 aplikasi untuk menganalisis ratusan gambar tahi lalat dan bercak hitam, yang sebelumnya sudah diperiksa oleh ahli penyakit kulit.
Aplikasi terbaik mampu mendeteksi penyakit kulit, termasuk kanker kulit, dengan tingkat akurasi hingga 98 persen. Sementara aplikasi yang paling payah hanya memiliki tingkat akurasi 6,8 persen. Sayangnya, riset yang dilakukan oleh para peneliti ini tidak menyebutkan nama-nama aplikasi yang mereka uji.
Sebelumnya, ada pula aplikasi mobile lainnya yang dibuat untuk mendeteksi penyakit pada paru-paru. Aplikasi bernama SpiroSmart dikembangkan oleh para peneliti di University of Washington. SpiroSmart bekerja dengan menganalisis suara napas penggunanya.
Selain mengembangkan aplikasi khusus, para peneliti dan ilmuwan juga memanfaatkan aplikasi yang telah ada untuk mendeteksi penyakit. Salah satunya adalah Twitter. Media sosial ini dimanfaatkan oleh para peneliti dan ilmuwan komputer dari Johns Hopkins University untuk mendeteksi kasus influenza di Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan kicauan-kicauan tetang flu dari para pengguna Twitter untuk memetakan lokasi yang terjangkit epidemi flu.
Di Indonesia, aplikasi mobile untuk mendeteksi penyakit sebenarnya juga pernah dikembangkan. Contohnya, MOSES, singkatan dari "Malarian Obervation System and Endemic Surveliance". Aplikasi itu diciptakan oleh tim mahasiswa Institut Teknologi Bandung untuk mendiagnosis penyakit Malaria. Aplikasi tersebut terpilih menjadi juara pertama pada kategori Mobile Device Award, dalam kompetisi Imagine Cup 2009 yang digelar oleh Microsoft Corp.
Pada dasarnya, tren masa depan mengarah ke dunia mobile. Beragam aplikasi kesehatan yang kini dikembangkan bertujuan untuk membantu manusia mendeteksi penyakit dan peduli terhadap lingkungannya.
Sebelum dapat digunakan oleh orang banyak, tentunya perlu ada riset yang serius dan komprehensif terhadap aplikasi tersebut dan penyakit yang berhubungan. Tetapi perlu diingat, sehebat apapun sebuah aplikasi dalam mendeteksi penyakit, aplikasi itu tidak dikembangkan untuk menggantikan peran dokter. (*)
Sumber: kompascom
Foto: theverge.com
0 komentar:
Posting Komentar